Abdication of Throne

“I have found it impossible to carry the heavy burden of responsibility and to discharge my duties as king as I would wish to do without the help and support of the woman I love.”

Begitulah kata-kata paling terkenal dari Edward Albert, atau saat mengucapkan kata-kata ini adalah Raja Edward VIII, Raja dari Inggris Raya, Persemakmuran, dan Kaisar India. Pada 1936, tepatnya pada 11 Desember, sang Raja mengumumkan pengunduran dirinya dari tahta.

Ya, sebagai Raja Inggris, Edward VIII melakukan sesuatu yang tidak pernah dilakukan monarki Inggris selama hampir seribu tahun sejarahnya; turun dari tahta. Sesuatu yang bahkan tiap orang bersedia membunuh untuk mendapatkannya. Dan atas dasar apa Edward melakukan hal itu?

Ditulis dalam sejarah sebagai salah satu kisah cinta paling romantis -jika tidak menghitung tragedi dan kontroversinya- Saat seorang raja Inggris memutuskan untuk melepaskan tahta demi menikahi wanita pujaannya. Ya, demi cinta, sesuatu yang klise, tapi memang benar terjadi.

Edward VIII naik tahta setelah George V mangkat pada 20 Januari 1936, sehari berselang, Edward dinobatkan sebagai raja. Kini berstatus kepala negara, Edward yang sedari awal populer karena memang diproyeksikan menjadi raja -posisi yang kini ditempati Charles, William, dan George- dan charm sang Prince of Wales.

Bergabung di militer, Edward ikut menyaksikan PD I di garis depan. Pengalamannya ini dinilai tepat saat Inggris menghadapi the darkest hour saat fasisme a la Hitler mulai menyebar di Eropa. Tapi sejarah berkata lain, royal family cenderung berpihak pada Hitler, bahkan Edward menyatakan Hitler-lah yang bisa menyelamatkan Eropa dari komunisme. Hanya fakta ini baru terungkap lama setelah 1936.

Untuk urusan romansa, inilah yang membuat Edward sampai melepaskan tahtanya. Socialite dengan riwayat dua kali cerai asal Amerika, Wallis Simpson menjadi tokoh dibalik keputusan Edward. Saat pertama bertemu di 1931, Wallis masih istri dari Ernest Simpson. Lima tahun kemudian, setelah resmi bercerai dari Ernest, media Amerika mengabarkan bahwa Edward-Wallis hanya tinggal menunggu waktu.

Saat media Inggris lebih diam mengenai ini, berita mengenai Edward dan Wallis akhirnya keluar di awal Desember 1936. Hal ini langsung menjadi headlines, dan meski cukup diapresiasi oleh publik sebagai cara Edward me-modernisasi monarki yang masih terpaku di era Victoria, pemerintahan berpendapat lain.

Secara norma, status janda Wallis jelas tidak bisa diterima sebagai pendamping raja Inggris. Kepribadian Wallis juga dipandang kurang memenuhi syarat, termasuk oleh tokoh-tokoh berpengaruh di lingkung royalti. Selain itu hubungan Amerika dan Inggris sedikit renggang, dan menerima seorang Amerika menjadi Ratu jelas sulit diterima.

Selain norma, status Edward sebagai kepala Church of England dan hukum saat itu menyatakan tidak boleh menikahi seseorang dengan riwayat cerai selama mantan pasangannya belum meninggal. Secara politik pun demikian, karena saat itu situasi politik Eropa sedang memanas karena Hitler.

Pada akhirnya, di tanggal 10 Desember 1936, setelah baik Edward maupun parlemen tidak menemui titik terang, Edward menandatangani surat penurunan dirinya sebagai raja. Disaksikan empat adiknya; Albert, Henry, dan George. Albert, Duke of York, akhirnya meneruskan tahta sebagai George VI.

Sehari kemudian di 11 Desember, Edward VIII resmi turun tahta. Durasi kepemimpinannya adalah yang terpendek kedua setelah Lady Jane Grey hampir empat ratus tahun sebelumnya. Disiarkan melalui radio BBC, Edward mengumumkan ini pada seluruh dunia.

Keputusan Edward memicu kontroversi di Inggris, mengingat selama ini dia adalah sosok yang populer bagi rakyat Inggris. Lebih dari adiknya, Duke of York yang tertutup. Tapi pada akhirnya Edward tetap pada keputusannya, pada akhirnya tahun 1936 menjadi tahun dimana ada tiga raja di Inggris; George V yang mangkat, Edward VIII, dan George VI.

Mungkin kalian akan lebih mudah mengenal sosok George VI jika sudah pernah melihat film The King’s Speech, karena film itu didasarkan pada sosok George VI. Setelah George VI, tahta Inggris sekarang masih dipegang Elizabeth II, dan calon raja selanjutnya; Charles dan William, serta George.

---

Baru-baru ini, Putri Mako dari House of Chrysantemum juga melakukan hal serupa dengan Edward VIII. Sebagai putri dari Pangeran Akishino, nomor dua dalam urutan pewaris tahta Jepang, Mako mengumumkan akan melepaskan status royalti demi menikahi tunangannya. For love, that is.

Meski berstatus sebagai cucu tertua dari Kaisar Akihito, hal ini tidak mengejutkan karena hukum Jepang memang mengharuskan anggota royalti yang perempuan untuk melepaskan status mereka saat menikah. Karena itulah sampai saat ini tidak ada kaisar perempuan dalam sejarah Jepang.

---

Nah, abdication mungkin bisa dipandang sebagai langkah yang manusiawi, normal, karena semua manusia berhak untuk bahagia. Tapi bagaimana dengan mereka yang ditinggalkan, dalam hal ini komunitas, negaranya?

Edward meninggalkan Inggris di periode yang disebut sebagai darkest hour, bahkan George VI menambah buruk suasana dengan untuk pertama kalinya menunjukkan gejala gagapnya -meski tidak seburuk yang digambarkan The King’s Speech- dan agresi militer Jerman.

Untungnya di tahun-tahun berikutnya, George membuktikan diri bahwa dirinya layak jadi raja. Perang Dunia II berhasil dimenangkan sekutu, dan hal ini dilanjutkan George dengan baik sampai akhir hayatnya. Setelah Elizabeth naik tahta, publik sudah melupakan Edward.

---

Seminggu lalu, senbatsu untuk single kelima Keyaki diumumkan. Dan hasilnya, identitas The Half-Blood Princess akhirnya terkuak, resmi menanggalkan status kennin dan full di Kanji. Somewhat obvious, tapi juga tidak bisa dibilang tidak mengejutkan. Respon untuk hal ini pun beragam.

Beberapa member Hiragana menyatakan bahwa kepergian Neru jelas adalah kehilangan besar, tapi memaklumi itu karena sejak awal mereka melihat kennin Neru adalah sesuatu yang dipaksakan. Bahkan saat melihatnya langsung -kejadian di backstage, salah satunya bisa dicek disini– mereka tidak bisa merasakan yang lain selain rasa kasihan.

Understandable, mengingat bagaimana hectic-nya schedule yang dimiliki Neru. Selain itu dia juga harus menerima jatah ganda sebagai akibat kennin-nya. Dihapusnya kennin Neru sebenarnya sudah terlihat sejak awal tahun, sejak mereka menghapus embel-embel itu dari profile Neru, tapi kenapa butuh waktu selama ini?

IMO, hal ini karena Hiragana belum memiliki base yang kuat. Karakter member masih bland, dan jelas mereka belum capable untuk berdiri sendiri tanpa Neru. Di pertengahan tahun ini jelas banyak hal yang terjadi baik di Kanji maupun Hiragana, dan di akhir tahun ini gong-nya akhirnya dibunyikan.

Membuat member yang menjadi “titik perkara” akan dualisme ini menyeberang ke pihak lain, jelas pukulan bagi Hiragana, tapi di sisi lain, sama seperti keputusan Edward, hal ini adalah langkah positif. Neru jelas tidak akan sanggup bertahan dengan kennin lebih lama lagi -meski aku tentu ada di pihak pro-Hiragana-

Bahkan Neru sendiri mengatakan eksistensinya yang seperti burden bagi kedua grup. Kini dia bisa sedikit lega, meski butuh pengorbanan. Dan lebih lagi, tidak ada yang tahu tentang ini sampai saat pengambilan gambar untuk Keyakake minggu lalu. If I could say, they were felt like betrayed?

Bisa dipahami, tapi aku jujur tidak bisa melihat kenapa ini tidak bisa menjadi awal baru Hiragana, to live as their own, not undershadowed anymore? Kekecewaan ini jelas ada, tapi mungkin hanya temporary. Mungkin yang paling menusuk adalah kepergian Neru dari Re:mind juga, karena ini manuver yang cukup riskan, kecuali tekniknya hanyalah pancingan semata.

---

Pada akhirnya, berakhirnya kennin ini adalah sesuatu yang positif. At the very least, menghilangkan pertanyaan tentang apa dan bagaimana sistem K&H. Memang masih jauh dari kejelasan, tapi setelah Neru tidak lagi kennin, maka aku bisa bilang dalam istilah paling mentah, mirror dimention.

…dan penggambaran paling mentah yang bisa kupikirkan

Bagaimanapun, bahkan jika alasan abdication Neru ke Kanji senaif alasan Edward VIII yang berkeras pada Wallis Simpson, it’s for greater good. Dan mungkin satu lagi, everyone entitled to their own fate.

All images used is credited to it’s respective owners